Langit malam itu bukan sekadar gelap, ia adalah kanvas raksasa yang dihujani cahaya niran, semburat keemasan yang memancar dari bintang-bintang tua, seolah seluruh galaksi sedang mengamati seorang lelaki di puncak Karst. Udara dingin menusuk, tapi tidak lebih tajam dari sorot matanya yang menjelajahi cakrawala tanpa batas. Zakala. Namanya bergema dalam desiran angin yang menyanyikan lagu sunyi, lagu yang hanya dipahami oleh jiwa-jiwa yang terlalu lama berjalan sendirian.
Dia duduk bersila di atas batu besar, tubuhnya bagai patung yang diukir oleh waktu itu sendiri. Rambut sebahunya yang hitam berurai seperti sungai malam, bergerak pelan dalam hembusan angin yang seharusnya mencabik-cabik kulit. Tapi Zakala tidak gemetar. Dia menghirup napas panjang, menahannya—seperti biasa—sebelum menghembuskannya perlahan. Seolah sedang menghitung detik yang tak lagi berarti baginya.
Keringat mengalir di dahinya, anomali di tengah hawa dingin yang membeku. Celana pangsi hitamnya melekat pada kulit, bergerak sesuai otot-ototnya yang tegang. Tiba-tiba, dia berdiri. Sorot matanya yang tajam terpejam, tapi dunia di sekelilingnya tetap terlihat jelas baginya—dengan cara lain.
Dengan gerakan yang lebih mirip bayangan daripada manusia, Zakala melompat dari batu itu. Kakinya mendarat di tanah berkapur, menghamburkan debu ke segala penjuru seperti letusan kecil. Tidak ada keraguan dalam langkahnya, tidak ada jeda. Dia mulai berjalan, lalu berlari, lalu melayang. Batu-batu besar di bukit terjal itu dilompatinya dengan lincah, seolah gravitasi hanya saran untuk makhluk lain.
Dialah Zakala.
Namanya tercatat dalam legenda-legenda yang saling bertolak belakang. Wajahnya yang seperti pria 25 tahun telah menyaksikan matahari terbit di planet-planet yang sudah hancur. Angin adalah satu-satunya teman yang konsisten—karena bahkan bintang pun bisa padam. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, dia hanya berjalan. Tidak ada tujuan, hanya intuisi. Setengah jam kemudian, dia berdiri di atas bukit hijau, memandang padang rumput luas yang dihantui oleh bayangan hutan lebat di kejauhan.
Zakala menempelkan telapak tangan ke tanah. Energinya merambat seperti akar tak kasat mata, mencari denyut kehidupan.
Tidak ada.
Bahkan serangga pun seolah menghindari tempat ini.
Tapi Zakala tidak peduli pada ketiadaan. Dia melesat lagi, kali ini menuju hutan. Pepohonan di sana bukan sekadar besar—mereka monumental. Batang-batangnya menjulang seperti pilar langit, daun-daunnya membentuk kanopi yang memfilter cahaya bintang menjadi tetesan-tetesan keemasan. Zakala, dengan tubuh manusiawinya, terasa seperti semut di antara raksasa.
Dia berhenti di depan satu pohon yang lebih besar dari yang lain, kulit kayunya dipenuhi ukiran-ukiran aneh—bahasa yang mungkin sudah punah. Matanya menangkap sesuatu di antara reruntuhan di kejauhan. Dan lagi, dia bergerak.
Tempat itu seperti bekas peninggalan peradaban yang dihancurkan dengan sengaja. Batu-batu berserakan dalam formasi yang tidak alami, ditumbuhi tanaman merambat yang seolah berusaha menyembunyikan sesuatu. Zakala berdiri di tengah puing, tangannya menyentuh sebuah prasasti yang retak.
“Aku mengenali ini,” bisiknya, suaranya lebih dalam dari yang seharusnya. Tiba-tiba, angin berhenti. Suara hutan menghilang. Dan dari balik reruntuhan—sesuatu menjawab.
Zakala berdiri di tengah puing-puing yang terasa salah. Batuan retak itu terlalu simetris untuk runtuh secara alami, setiap pecahan membentuk sudut 120 derajat, seperti fragmen raksasa dari mesin kosmik yang sengaja dirusak. Tanaman merambat yang membelit reruntuhan berdenyut pelan, mengeluarkan cahaya kebiruan selaras dengan detak jantung Zakala.
Dia berlutut, telapak tangan kanannya menekan prasasti yang terkubur sebagian. Ukiran bahasanya berganti-ganti setiap kali matanya berkedip: Satu detik tampak seperti Hieroglif Mesir Kuno. Detik berikutnya berubah jadi Simbol simbol yang tak ia kenali. Lalu: prasasti itu menampilkan tulisan tangannya sendiri dari masa lalu yang bahkan dia sudah lupa.
“Kau kembali.”
Suara itu ia dengar bukan dari telinga melainkan berasal dari dalam tulang belakangnya. Angin berputar membentuk pusaran di depan Zakala. Debu-debu kapur berkristalisasi menjadi sosok humanoid setinggi 3 meter, wajahnya halus tanpa fitur kecuali tiga lubang hitam di mana mata dan mulut seharusnya ada.
“Zakala. Atau kau lebih suka disebut ‘Yang Berlari di Antara Zaman’ sekarang?” Suaranya seperti gemerisik hujan meteor.
Zakala tidak terlalu terkejut dengan kehadiran sosok tersebut akan tetapi jarinya mengencang di gagang pisau yang ia selipkan di pinggangnya, senjata yang bisa membunuh apa pun kecuali dirinya sendiri.
“Kau tahu namaku..” sahut Zakala
Lubang hitam di wajah entitas itu berputar membentuk spiral yang dalam seperti tak berujung.
“Aku mengenal semua namamu. Kekasih yang kau tinggalkan di Sirius. Musuh yang kau kubur di dasar laut Lemuria. Bahkan…” —Sosok itu tiba-tiba berada tepat di depan Zakala “…nama aslimu sebelum kau menjadi ini”
Kemudian menyeruak tercium udara berbau ozon. Kewaspadaan Zakala membuatnya ingin membunuh sosok tersebut, namun sebelum Zakala sempat bertindak sosok itu menyentuh prasasti dan kemudian reruntuhan bergetar, memancarkan hologram berwarna ke-unguan yang kemudian menampilkan pemandangan yang sepertinya planet ini ribuan tahun lalu.
Sebuah Kota dengan dominasi bangunan yang berbentuk spiral megah dengan menara-menara yang menjulang ke langit, lalu seketika terpancar cahaya yang begitu silau diikuti ledakan cahaya berwarna ungu. Hologram itu juga memperlihatkan kengerian yang menimpa sekelompok orang dengan wajah persis Zakala, mereka meneriakan sesuatu dalam bahasa yang sebenarnya cukup familiar bagi Zakala, hanya saja bahasa itu sudah punah dan tidak pernah terdengar lagi.
“Mereka mencoba bermain-main dengan waktu. Tapi kau tahu bagaimana akhirnya kan?”
“Kecuali… kau tidak ingat, ya? Karena kau melarikan diri.”
Sosok itu berbicara lagi memecah perhatian Zakala yang menatap hologram yang memudar. Ada kenangan yang muncul di kepalanya, kenangan itu membawa ingatannya pada Api. Tangisan anak kecil. Dan dirinya sendiri yang mengenakan jubah putih sedang menarik tuas besar sambil menjerit.
“Apa yang kau inginkan?” dalam situasi yang cukup membingungkan itu Zakala bertanya dengan nada yang tegas kepada sosok tersebut yang di balas dengan tawa yang keras, suaranya seperti kaca pecah di ruang hampa.
“Kuburan waktu ini memanggilmu pulang, Zakala. Karena hanya ada satu cara perjalananmu berakhir…”
“…dengan kau menyelesaikan apa yang dimulai.” jawabnya, menyisakan tanda tanya besar di benak Zakala tentang apa yang sebenarnya mahluk itu inginkan darinya.
Pohon-pohon raksasa di sekeliling mereka tiba-tiba membusuk dalam hitungan detik, berubah jadi kerangka karbon yang berdebu. Sosok itu menyusut menjadi titik hitam, lalu menghilang dengan letupan quantum, meninggalkan Zakala sendirian di tengah padang gurun yang tadinya adalah hutan.
Di tangannya, tanpa sadar, dia menggenggam sebuah kunci perak kecil yang tidak ada sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya dalam seribu tahun… Zakala merasa takut.