Di antara tumpukan buku yang pernah kubaca, ada satu buku yang selalu memiliki tempat spesial. Bukan karena tebalnya, tapi karena kedalaman maknanya yang tak lekang oleh waktu: “Sang Nabi” (The Prophet) karya Kahlil Gibran. Buku ini bukan sekadar kumpulan prosa, melainkan sebuah percakapan jiwa yang menawarkan pencerahan tentang esensi kehidupan manusia.
Ditulis pada tahun 1923, buku ini mengisahkan Almustafa, sang nabi, yang telah tinggal di kota Orphalese selama 12 tahun. Tepat sebelum ia kembali ke pulau kelahirannya, penduduk kota datang kepadanya dan meminta wejangan tentang berbagai aspek kehidupan. Dari sinilah Gibran menyuguhkan pandangan-pandangan puitis nan filosofisnya yang dirangkai dalam bab-bab pendek.
Salah satu bagian yang paling menyentuh adalah bab tentang cinta. Gibran tidak melihat cinta sebagai kepemilikan, melainkan sebagai sebuah kebebasan.
“Cinta takkan memberi apa pun kecuali dirinya sendiri, dan takkan mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tak memiliki, pun tak dapat dimiliki; karena cinta telah cukup bagi cinta.”
Kutipan ini menggarisbawahi bahwa cinta sejati adalah ketika dua jiwa bertemu tanpa berusaha mengubah atau mengikat satu sama lain. Sebuah pandangan yang menantang romantisme modern yang seringkali terjebak dalam tuntutan dan ketergantungan emosional.
Selanjutnya, Gibran membahas pernikahan dengan analogi yang indah. Ia menggambarkannya bukan sebagai dua pribadi yang melebur menjadi satu, melainkan sebagai dua individu yang berdampingan, saling menguatkan.
“Isilah cawan kalian masing-masing, tapi jangan minum dari cawan yang sama. Berikanlah roti kalian masing-masing, tapi jangan makan dari piring yang sama. Menyanyilah, menarilah bersama, dan bersenang-senanglah, tapi biarkanlah masing-masing kalian menyendiri…”
Analogi ini selaras dengan pandangan banyak filsuf, salah satunya Arthur Schopenhauer dengan metafora landak (Hedgehog’s Dilemma). Schopenhauer menggambarkan bagaimana landak perlu berada pada jarak tertentu untuk saling menghangatkan tanpa saling melukai dengan duri mereka. Gibran, dengan cara yang lebih puitis, juga menyiratkan hal serupa: kebersamaan yang sehat membutuhkan ruang pribadi.
Tema kematian dalam buku ini juga sangat berbeda dari pandangan umum yang sering kali dipenuhi duka. Gibran melihat kematian sebagai sebuah proses alami, seperti gelombang yang kembali ke lautan.
“Seperti sehelai daun yang mengering, kita akan menjadi debu; namun kematian adalah seperti perahu yang berlayar ke samudra luas, dan kelahiran adalah perahu yang berlabuh.”
Pandangan ini mengingatkan kita pada konsep Stoikisme, yang dianut oleh filsuf seperti Marcus Aurelius. Para Stoik melihat kematian bukan sebagai akhir, melainkan sebagai bagian tak terhindarkan dari siklus alam semesta. Baik Gibran maupun Stoik mengajarkan bahwa ketakutan akan kematian justru membelenggu kita dari menjalani hidup sepenuhnya.
Meskipun ditulis seabad yang lalu, pesan-pesan Sang Nabi tetap relevan sampai sekarang. Di tengah hiruk-pikuk media sosial yang mendefinisikan cinta sebagai likes dan followers, Gibran mengingatkan kita bahwa cinta sejati itu jauh lebih sederhana dan bebas. Ketika pernikahan seringkali diuji oleh ego dan ambisi pribadi, Gibran mengajak pasangan untuk menjadi dua pilar yang kuat, bukan dua bayangan yang saling menutupi.
Buku ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan dan pencerahan tidak harus dicari di tempat yang jauh atau rumit. Kematian tidak perlu ditakuti, cinta tidak perlu diikat, dan hidup tidak perlu diperumit. Semua jawaban sebenarnya ada di dalam diri kita sendiri, menunggu untuk ditemukan.
Bagi kamu yang mencari bacaan yang bisa menenangkan hati dan merangsang pikiran, “Sang Nabi” adalah pilihan yang sangat tepat. Ia bukan sekadar buku, melainkan seorang sahabat bijak yang siap menemani di setiap perjalanan kehidupan.